Skip to main content

Puisi Tentang Sumpah Pemuda Terbaik & Menyentuh Hati

Puisi sumpah pemuda

Ingatkah kapan Hari Sumpah Pemuda? Hari Sumpah Pemuda diperingati tiap tanggal 28 Oktober secara nasional. 

Untuk menyongsong peringatan Hari Sumpah Pemuda, kita perlu melakukan sesuatu yang dapat memompa semangat kebangsaan kita. Semangat persatuan dan kesatuan serta merasa bangga menjadi rakyat Indonesia yang memiliki pejuang-pejuang luar biasa, sejarah luar biasa, dan generasi juga harus luar biasa. Maka, berikut ini kami himpun kumpulan puisi tentang sumpah pemuda terbaik dan menyentuh hati agar dapat menjadi media membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan serta sebagai inspirasi generasi Indonesia.

Sumpah Pemuda tercetus pada 28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Sumpah Pemuda tercipta dari Kongres Pemuda II yang diselenggarakan dua hari, yaitu 27-28 Oktober 1928. Dalam kongres tersebut, dihasilkan tiga ikrar sumpah pemuda yaitu:

Ikrar Sumpah Pemuda:

- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

- Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Selanjutnya, berikut ini beberapa puisi tentang Sumpah Pemuda terbaik dan menyentuh hati ciptaan tokoh-tokoh nasional Indonesia, yaitu puisi Chairil Anwar, puisi Taufiq Ismail, puisi WS Rendra, dan puisi Fadli Zon:


Judul Puisi: PRAJURIT JAGA MALAM

Karya: Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!


Judul Puisi: Diponegoro

Karya: Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati


MAJU


Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu


Sekali berarti

Sudah itu mati


MAJU


Bagimu Negeri

Menyediakan api


Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai


Maju

Serbu

Serang

Terjang


Judul Puisi: AKU

Karya: Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.


Judul Puisi: TAKUT 66, TAKUT 98

Karya: Taufik Ismail 

Mahasiswa takut pada dosen

Dosen takut pada dekan

Dekan takut pada rektor

Rektor takut pada menteri

Menteri takut pada presiden

Presiden takut pada mahasiswa

takut “66, takut “98


Judul Puisi: Dengan Puisi, Aku

Karya: Taufik Ismail 

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya.


Judul Puisi: KENANGAN 28 OKTOBER 1928

Karya: Fadli Zon

fajar kesadaran telah tiba

pemuda bangun melahirkan cita-cita

di Kramat Raya mereka berjumpa 

dari seluruh nusantara

beragam suku dan agama

Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes sampai Jong Sumatra

bersumpah untuk tanah air tercinta


ikrar mereka menggetarkan sejarah 

merasuki sanubari dan darah 

menular ke pelosok penjuru negeri 

membangkitkan pejuang ke ladang bakti 

tekad merdeka tertambat di hati

untuk dijajah lagi


dua puluh delapan Oktober sembilan belas dua delapan

sebuah tonggak perlawanan

gelora kaum muda untuk persatuan 

mereka menggalkan perbedaan 

semua bersaudara walau dipisahkan lautan

satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa


sumpah itu tak kan pudar ditelan zaman

menjadi nahkoda perjalanan bangsa

membingkai bhinneka tunggal ika

merajut segala cita dan doa


Judul Puisi: SAJAK ANAK MUDA

Karya: W.S. Rendra

Kita adalah angkatan gagap

yang diperanakkan oleh angkatan takabur.

Kita kurang pendidikan resmi

di dalam hal keadilan,

karena tidak diajarkan berpolitik,

dan tidak diajar dasar ilmu hukum.


Kita melihat kabur pribadi orang,

karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,

karena tidak diajar filsafat atau logika.


Apakah kita tidak dimaksud

untuk mengerti itu semua?

Apakah kita hanya dipersiapkan

untuk menjadi alat saja?


Inilah gambaran rata-rata

pemuda tamatan SLA,

pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.


Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,

dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan.


serta pengetahuan akan kelakuan manusia,

sebagai kelompok atau sebagai pribadi,

tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.


Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,

tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri.

Kita sebal terhadap masa depan.


Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,

kita hanya bisa membeli dan memakai,

tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin,

tetapi hanya bisa berkuasa,

persis seperti bapak-bapak kita.


Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.

Di sana anak-anak memang disiapkan

untuk menjadi alat dari industri.

Dan industri mereka berjalan tanpa henti.

Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?

Kita hanya menjadi alat birokrasi!


Dan birokrasi menjadi berlebihan

tanpa kegunaan -

menjadi benalu di dahan.


Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberikan pencerahan.

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.


Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengagnguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?

Karena tidak bisa kita tafsirkan,

lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.


Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?

Apakah ini? Apakah ini?

Ah, di dalam kemabukan,

wajah berdarah

akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini?


Seseorang berhak diberi ijasah dokter,

dianggap sebagai orang terpelajar,

tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada tirani merajalela,

ia diam tidak bicara,

kerjanya cuma menyuntik saja.


Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja?

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

dianggap sebagai bendera-bendera upacara,

sementar hukum dikhianati berulang kali.


Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

dianggap bunga plastik,

sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tata warna

yang ajaib dan tak terbaca.


Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.

Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.

Dan bila luput,

kita memukul dan mencakar

ke arah udara.


Kita adalah angkatan gagap.

Yang diperanakkan oleh angkatan kurang ajar.

Daya hidup telah diganti oleh nafsu.

Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.

Kita adalah angkatan yang berbahaya.


Judul Puisi: Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami Masuk Penjajahan Baru, Kata Si Toni

Karya: Taufiq Ismail

Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri

Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan

Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami

Sejak lahir sampai dewasa ini

Jadi sangat tepergantung pada budaya

Meminjam uang ke mancanegara

Sudah satu keturunan jangka waktunya

Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula

Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni

Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi

Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini

Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi

Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia

Kita gadaikan sikap bersahaja kita

Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta

Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka

Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita

Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia

Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama

Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia

Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi

Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri

Sambil kepala kita dimakan begini

Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti

Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi

Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni

Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama

Menggigit dan mengunyah teratur berirama.


Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi

Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini

Bagai ikan kekurangan air dan zat asam

Beratus juta kita menggelepar menggelinjang

Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang

Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya

Meminjam kepeng ke mancanegara

Dari membuat peniti dua senti

Sampai membangun kilang gas bumi

Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi

Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi

Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri

Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis

Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis

Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa

Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa

Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya

Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami

Kalian lah yang membuat kami jadi begini

Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi

Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini


Judul: Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya

Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula

Mereka kehausan datam panas bukan main

Terbakar muka di atas truk terbuka


Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Biarlah sepuluh ikat juga

Memang sudah rezeki mereka

Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan

Seperti anak-anak kecil

"Hidup tukang rambutan!" Hidup tukang rambutani

Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya

Dan ada yang turun dari truk, bu

Mengejar dan menyalami saya

Hidup pak rambutan sorak mereka

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

"Hidup pak rambutan!" sorak mereka

Terima kasih, pak, terima kasih!

Bapak setuju karni, bukan?

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara

Doakan perjuangan kami, pak,

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima kasih mereka

"Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!"

Saya tersedu, bu. Saya tersedu

Belum pernah seumur hidup

Orang berterima-kasih begitu jujurnya

Pada orang kecil seperti kita.


Buka Komentar

Popular posts from this blog